Oleh: Josef Herman Wenas
Jakarta, listberita.id – Apakah mantan presiden Jokowi akhirnya akan menjadi Ketua Umum PSI?
Saya akan menganalisis pertanyaan ini berdasarkan kata-kata yang keluar dari ucapan Jokowi sendiri.
Ada dua kalimat Jokowi yang perlu diperhatikan. Yang intinya: (1)“Kemungkinan ikut mendaftar sebagai Ketua Umum PSI.
Masih 𝗱𝗶𝗸𝗮𝗹𝗸𝘂𝗹𝗮𝘀𝗶, dan kalau saya ikut 𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶 𝗸𝗮𝗹𝗮𝗵…”; (2)“Kalau saya mendaftar, barangkali 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗺𝗲𝗻𝗱𝗮𝗳𝘁𝗮𝗿…”
Kalimat kedua menjelaskan bahwa kalau Jokowi memutuskan mendaftar, maka beliau sudah pasti akan menjadi Ketua Umumnya.
Saya tidak perlu panjang lebar lagi tentang hal ini. PSI dengan 𝘵𝘢𝘨𝘭𝘪𝘯𝘦 “Jokow15me” dan tagar “tegak lurus Jokowi” adalah ekspresi yang terang- benderang.
Kaesang Pangarep, yang baru jadi kader PSI dan langsung menjadi Ketua Umum, adalah ekspresi 𝘤𝘦𝘵𝘩𝘰 𝘸𝘦𝘭𝘰 lainnya.
Jadi 𝘱𝘰𝘪𝘯𝘵 𝘰𝘧 𝘢𝘯𝘢𝘭𝘺𝘴𝘪𝘴-nya tinggal soal:
Hal apa yang masih dikalkulasi oleh Jokowi? Dan, apa yang dimaksud dengan kalah? Kalah dari hal apa?
Kita tahu, PSI akan memilih Ketum baru mereka melalui apa yang disebut “Pemilu Raya.”
Ketum baru ini akan dipilih secara langsung oleh para kadernya, melalui metode pemungutan suara 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨.
Yang dijadwalkan berlangsung antara 12-19 Juli 2025.
Sedangkan hasilnya diumumkan saat pelaksanaan Kongres PSI, 19 Juli 2025 di Solo, Jawa Tengah.
Tetapi pengumuman para calon Ketum akan dilakukan pada 𝟭𝟴 𝗝𝘂𝗻𝗶 𝟮𝟬𝟮𝟱.
Jadi, waktu untuk Jokowi mengkalkulasi tinggal tersisa 33 hari lagi, sejak tanggal artikel ini ditulis. Tidak begitu lama lagi!
Hal penting lain dalam 𝘵𝘪𝘮𝘦𝘭𝘪𝘯𝘦 Pemilu Raya PSI ini, menurut saya, adalah pengumuman Daftar Pemilih Tetap (DPT) mereka pada 𝟭𝟬 𝗝𝘂𝗹𝗶 𝟮𝟬𝟮𝟱.
Pada saat itulah kita tahu berapa banyak kader PSI sesungguhnya. Kader artinya pemegang KTA.
Total kader dalam DPT ini nanti akan dibandingkan, dengan kinerja PSI di Pemilu 2024 lalu dengan perolehan suara nasional 2,8%.
Ini ekuivalen sekitar 4,2 juta pemilih, dari total suara sah Pileg yang 151 juta orang.
DPT versi PSI ini nanti akan menjadi tolak ukur, apakah jumlah kader versus jumlah pemilihnya di Pileg 2024 sama, dibawah, atau malahan diatasnya.
Kita tahu jumlah pemilih tidak sama dengan, jumlah kader (pemegang KTA).
Dalam realitasnya, jumlah kader bisa dipastikan jauh dibawah jumlah pemilih.
Megawati Soekarnoputri dalam beberapa kesempatan mengklaim kader PDIP itu mencapai 30-35 juta orang.
Faktanya pemilih Ganjar-Mahfud di Pileg 2024 hanya 27 juta orang.
Berarti, kader PDIP jauh dibawah klaim Megawati, mengingat pemilih itu terbagi tiga: kader, 𝘥𝘪𝘦𝘩𝘢𝘳𝘥𝘴 (loyalis) dan 𝘴𝘸𝘪𝘯𝘨 𝘷𝘰𝘵𝘦𝘳𝘴.
Yang memenangkan PD di Pemilu 2004 dan 2009, juga PDIP di Pemilu 1999, 2014, 2019 adalah 𝘴𝘸𝘪𝘯𝘨 𝘷𝘰𝘵𝘦𝘳𝘴. Bukan kader dan 𝘥𝘪𝘦𝘩𝘢𝘳𝘥𝘴 mereka.
Yang menurunkan suara PDIP di Pemilu 2024 – walaupun masih sebagai partai pemenang Pemilu – juga para 𝘴𝘸𝘪𝘯𝘨 𝘷𝘰𝘵𝘦𝘳𝘴, yang pada lari ke partai lain.
Suara PD anjlok di Pemilu 2014, juga akibat kelakuan para 𝘴𝘸𝘪𝘯𝘨 𝘷𝘰𝘵𝘦𝘳𝘴 ini.
Inilah salah satu kalkulasi strategis yang ada, di kepala Jokowi.
Kita tidak tahu berapa persen dari pemilih PSI yang 4,2 juta orang itu, yang akan terdaftar sebagai kader PSI.
“Dan yang akan berpartisipasi dalam 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 pemilihan Ketum mereka, di bulan Juli nanti.
Terkait dengan kalkulasi ini, maka bisa dikatakan metode 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 yang akan diterapkan oleh Jokowi-PSI ini bersifat eksperimental. Bisa berhasil, bisa gagal.
Kita tidak tahu skenario mana yang akan terjadi. Namun kenekadan PSI mau menjalani eksperimen ini, patut diacungi jempol.
Metode 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 memang mulai menjadi tren, yang diterapkan berbagai partai politik di beberapa negara. Macam-macam tujuannya.
Ada yang untuk memilih Ketum, untuk memilih dewan pimpinan daerah/lokal, dan untuk tujuan jajak pendapat di internal partai atas suatu isu publik.
Di Amerika Serikat, partai Demokrat dan Republik mulai menggunakan 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 untuk pemilihan pimpinan di level negara bagian dan 𝘭𝘰𝘤𝘢𝘭 𝘤𝘩𝘢𝘱𝘵𝘦𝘳𝘴.
Untuk level nasional, pemilihan Ketum masih menggunakan sistem delegasi dari berbagai komite partai dan sistem konvensi.
Di Inggris partai Liberal Democrats mulai menerapkan 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨. Di Jerman, partai Bündnis 90.
Di Belanda, agak banyak yang mulai menerapkannya, yaitu Democrats 66 (D66), GroenLinks, Volt Nederland, Piratenpartij Nederland.
Di Italia, diterapkan oleh partai Movimento 5 Stelle.
Di Australia, oleh partai Australian Greens. Di Kanada, oleh New Democratic Party.
Saya observasi, penerapan 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 ini umumnya dimulai antara tahun 2017-2018. Jadi, hal ini merupakan fenomena yang agak baru.
Dan untuk Indonesia, Jokowi-PSI yang akan menjadi pelopor diterapkannya metode 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 ini.
Bila skenario 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 PSI ini berhasil, maka Jokowi sebetulnya sedang merancang sebuah 𝗿𝗲𝘃𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶 𝗯𝘂𝗱𝗮𝘆𝗮 𝗽𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗯𝗮𝗿𝘂!
Memang, kata “revolusi” terdengar bombastis dan 𝘭𝘦𝘣𝘢𝘺.
Sebab maknanya adalah, 𝘢 𝘧𝘰𝘳𝘤𝘪𝘣𝘭𝘦 𝘰𝘷𝘦𝘳𝘵𝘩𝘳𝘰𝘸 𝘰𝘧 𝘢 𝘴𝘰𝘤𝘪𝘢𝘭-𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘰𝘳𝘥𝘦𝘳, 𝘪𝘯 𝘧𝘢𝘷𝘰𝘳 𝘰𝘧 𝘢 𝘯𝘦𝘸 𝘴𝘺𝘴𝘵𝘦𝘮.
Atau, penggulingan paksa suatu tatanan sosial-politik, untuk digantikan dengan sebuah tatanan baru.
Tetapi saya bisa memberikan penjelasan rasionalnya, tentang hal-hal apa saja yang akan berubah.
Bila publik Indonesia terinspirasi – lalu bergerak mendukung – inisiatif 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 dari Jokowi-PSI ini.
𝗜𝗻𝘀𝗽𝗶𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮: TRANSPARANSI PARTAI.
Dengan sistem 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 yang terdesain solid, setiap suara dapat ditelusuri dan diaudit secara digital.
Ini artinya, hilangnya praktik “pemaksaan suara” atau manipulasi suara yang sering terjadi dalam sistem luring.
Para kader tahu persis bahwa prosesnya, adil dan terbuka, bukan sekedar formalitas.
Tertutup peluang terjadinya kasus-kasus manipulasi, semacam Harun Masiku atau Romy Soekarno.
𝗜𝗻𝘀𝗽𝗶𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮: HILANGNYA POLITIK UANG.
Dengan 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 yang berbasis kader-terverifikasi, sulit untuk membeli suara secara langsung.
Misalnya, dalam kongres yang luring, sering terjadi apa yang disebut “serangan fajar” terhadap beberapa delegasi.
Maka, metode ini akan menurunkan biaya politik seorang calon Ketum yang potensial, tetapi berkantong kering.
𝗜𝗻𝘀𝗽𝗶𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮: PROFESIONALISME DAN MODERNISASI PARTAI.
Sudah pasti 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 akan mendorong penggunaan teknolog,i dalam tata kelola internal partai.
Ini akan memaksa partai membenahi sistem kaderisasinya, terdata rapi dan 𝘷𝘦𝘳𝘪𝘧𝘪𝘦𝘥.
Dengan menata kaderisasinya, itu artinya partai serius membangun sistem, bukan sekadar menjadi alat politik elektoral.
Dan demagogi murahan seperti yang ditunjukkan oleh Megawati Soekarnoputri (klaim punya puluhan juta kader), tidak bisa terjadi lagi.
Inspirasi pertama, kedua dan ketiga ini akan mewujudkan inspirasi berikutnya, yang barangkali terpentig.
𝗜𝗻𝘀𝗽𝗶𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗸𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁: DEMOKRATISASI PARTAI.
Diterapkannya 𝘦-𝘷𝘰𝘵𝘪𝘯𝘨 membuka peluang, agar semua kader di seluruh Indonesia bisa ikut serta memilih, bukan hanya elite atau perwakilan daerah.
Hal ini dengan sendirinya akan mendorong transisi, dari partai elite ke partai kader berbasis massa.
Sekaligus, menjadikan sosok Ketum lebih akuntabel bagi kader-kadernya, bukan hanya bagi pengurus pusat (DPP), atau bahkan 𝘯𝘨𝘰𝘵𝘰𝘵 mau jadi “pemilik” partai.
Praktek politik dinasti khas Indonesia terkikis. Anda masih ingat Jokowi melontarkan gagasan “..suatu partai TBK” beberapa bulan lalu?
Dengan keempat inspirasi tadi, sekarang kita paham kemana arah kalkulasi yang dimaksud oleh Jokowi. (Sumber dan dikutip dari Josep Herman Wenas).