Limapuluh Kota I Listberita.id – Pena seharusnya tajam untuk menuliskan kebenaran. Namun di tangan oknum, wartawan Bodrek, pena bisa berubah menjadi senjata pemerasan. Itulah yang terjadi di Limapuluh Kota, ketika tiga wartawan berinisial Ryn, ARL, dan RK diduga menjadikan profesinya sebagai alat untuk menekan masyarakat dan meraup keuntungan pribadi.
Dari Jembatan Aspirasi Menjadi Ancaman
Wartawan seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat, menghadirkan fakta, dan menjaga demokrasi. Namun, perilaku Ryn dan kawan-kawan justru sebaliknya. Mereka mendatangi warga kecil penjual minyak eceran, lalu melontarkan kalimat yang menusuk: “Jangan sampai berita ini naik, bantu saja wartawan.”

Warga berinisial N dan IS, yang hanya menjual minyak untuk mesin tempel dan bajak sawah, dipaksa membayar sejumlah uang. Tidak cukup sekali, mereka bahkan harus menyetor secara rutin.
Nama N dan Is – masyarakat Aia Putiah itu pun kemudian digiring seolah-olah pelaku penimbunan BBM ilegal. Sebuah berita diterbitkan, mengatasnamakan hasil investigasi media. Ironisnya, berita itu tak lama kemudian dihapus begitu saja—seakan hanya alat tawar-menawar.

Modus Lama, Pola Sama
Ketua Umum Serikat Praktisi Media Indonesia (SPMI), Edi Anwar Asfar, menyebut praktik ini janggal dan melanggar martabat profesi. “Menerbitkan berita mencantumkan nama orang, lalu take down, itu bukan kerja jurnalistik,” tegasnya.
Fakta lain pun muncul: Ryn ternyata bukan pemain baru. Ia disebut pernah melakukan hal serupa di SPBU-SPBU lain. Menulis berita soal transaksi BBM gelap, lalu menagih uang damai agar berita diturunkan. Rekaman percakapan Ryn dengan awak media menunjukkan korban dipaksa menyerahkan Rp1 juta rupiah.
Kali ini, Ryn tampaknya tak lagi berjalan sendiri. Ia menggandeng dua wartawan lain, ARL dan RK, memperluas jaringan pemerasan berkedok jurnalistik.
Jurnalisme yang Dikhianati
Di sinilah luka itu terasa dalam. Jurnalisme, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, justru dikhianati oleh orang-orang yang memakai kartu pers sebagai tameng. Alih-alih menyajikan kebenaran, mereka menjual berita sebagai komoditas: siapa yang membayar, bisa membeli diam.
“Ini bukan pers. Ini premanisme,” ujar Edi Anwar. Ia menegaskan bahwa UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 hanya melindungi wartawan yang bekerja sesuai kode etik. Begitu profesi dipakai untuk menekan warga dengan ancaman berita bohong, perlindungan itu gugur.
Pelajaran Pahit
Kasus ini mestinya menjadi pelajaran besar. Bagi wartawan, bahwa profesi ini bukan jalan pintas mencari uang dengan menggadaikan fakta. Bagi masyarakat, jangan takut menghadapi “wartawan nakal”. Ada jalur hukum dan Dewan Pers untuk melaporkan. Membayar justru memperpanjang siklus pemerasan.
Ketika pena dijual untuk uang receh, yang runtuh bukan hanya martabat individu, tapi juga kepercayaan publik pada pers. Dan tanpa kepercayaan, jurnalisme tak lebih dari kertas kosong yang kehilangan maknanya.