Pesisir SelatanI Listberita.id — Kasus gagalnya Prima Yunila Masta, S.PdI, M.Pd (Nila) melaju sebagai calon Wali Nagari Kapuah Utara bukan sekadar sengketa administratif Pilwana. Fakta-fakta yang terungkap justru mengarah pada dugaan kuat adanya rekayasa terstruktur, kolusi penyelenggara, serta pembiaran sistematis oleh pejabat pemerintah daerah. Jika ditarik lebih jauh, perkara ini mencerminkan pola lama perusakan demokrasi nagari di Kabupaten Pesisir Selatan.
Pengakuan Camat XI Koto Tarusan, Nurlaini, SE, MS kepada wartawan menjadi pintu masuk. Camat mengklaim telah mengundang seluruh bakal calon untuk mediasi di kantor camat pada Rabu (19/12), termasuk Nila, dan menyebut hasilnya dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani semua pihak. Klaim ini runtuh ketika diuji dengan Nila- keterangan pihak yang dirugikan.

Nila secara tegas membantah. Ia menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam mediasi. “Saya hanya diminta menandatangani daftar hadir, lalu disuruh menunggu di luar ruangan. Tidak ada dialog, tidak ada kesepakatan, apalagi penandatanganan berita acara,” ujarnya. Jika pernyataan ini benar, maka muncul pertanyaan serius: berita acara siapa yang dimaksud Camat, dan atas dasar apa ia dibuat?
Lebih janggal lagi, Camat mengakui memiliki kewenangan untuk menunda atau meninjau ulang keputusan panitia Pilwana apabila ditemukan masalah- sebagaimana jawabannya atas pertanyaan wartawan via WA. Namun kewenangan itu tak pernah digunakan, meski kejanggalan prosedural sudah nyata. Diamnya Camat di titik krusial ini bukan kelalaian biasa, melainkan patut diduga sebagai bentuk pembiaran yang disengaja.

Versi berbeda juga disampaikan Ketua Panitia Pilwana Kapuah Utara, Azwin. Ia menyebut kegagalan Nila merupakan hasil rapat pleno yang dipimpin Ketua Bamus, Erimarzon, dengan alasan pembukaan surat aspirasi. Namun fakta di lapangan kembali bertolak belakang. Ketentuan pembukaan surat aspirasi hingga pukul 23.59 WIB justru dilanggar secara terang-terangan. Panitia menutup pembukaan surat aspirasi pada pukul 12.00 siang.
Penutupan sepihak ini bukan sekadar kesalahan teknis. Ia mengubah hasil, menentukan siapa yang lolos dan siapa yang tersingkir. Di titik ini, Pilwana kehilangan makna sebagai proses demokratis dan berubah menjadi arena manipulasi.
“Ini bukan kebetulan. Ini pola,” kata Nila. Ia menduga kuat adanya kesepakatan bersama antara panitia, pengawas, dan unsur pemerintahan untuk menyingkirkannya dari kontestasi. Dugaan praktik suap pun mengemuka, terutama terkait sikap Camat yang tidak menjalankan kewenangannya, serta peran Pengawas Pilwana Revy Anwar dan Ketua Bamus Erimarzon.
Upaya konfirmasi kepada pihak-pihak tersebut berujung pada kebungkaman. Revy Anwar dan Erimarzon tidak merespons panggilan telepon maupun pesan WhatsApp. Sikap serupa ditunjukkan Wakil Bupati Pesisir Selatan, Risnaldi. Bungkamnya para pejabat ini justru memperkuat kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup rapat.
Sementara itu, sikap Bupati Pesisir Selatan, Hendra Joni, dinilai kontradiktif. Di satu sisi, ia kerap melontarkan kemarahan dalam apel pagi terkait disiplin dan integritas. Namun di sisi lain, ketika Nila datang langsung ke rumah dinas untuk mencari keadilan, ia dibiarkan menunggu berjam-jam di luar tanpa pernah ditemui. Kemarahan verbal berubah menjadi gestur kosong tanpa keberanian mengambil tindakan nyata.
Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa Pilwana Kapuah Utara bukan kasus tunggal. Ia adalah potret bagaimana demokrasi nagari dirusak secara sistematis: aturan dilanggar, kewenangan disandera, pengawas bungkam, dan pimpinan daerah memilih aman dengan diam.
Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, Pilwana tak lagi menjadi mekanisme kedaulatan rakyat, melainkan alat legitimasi bagi kesepakatan elit. Kapuah Utara hanyalah satu pintu yang terbuka. Pertanyaannya kini: berapa banyak Pilwana lain di Pesisir Selatan yang diputuskan bukan oleh rakyat, melainkan oleh transaksi di balik meja? ( Edan )







