List Berita – Sengketa Ruko Marina Tama (Marinatama) Mangga Dua kembali memanas pada sidang lanjutan ke-6 di PTUN Jakarta Timur, Rabu 19 November 2025. Perkara dengan nomor 236/G/2025/PTUN.JKT ini mempertemukan para pemilik ruko sebagai penggugat, BPN Jakarta Utara sebagai tergugat, serta Kementerian Pertahanan RI sebagai Tergugat II Intervensi.
Sidang berlangsung sekitar satu jam dengan agenda penyerahan surat tambahan dan jawaban dari tergugat serta pihak intervensi. Agenda berikutnya adalah pemeriksaan bukti pada pekan depan.
BPN dan Kemenhan Bungkam Usai Sidang
Baik pihak BPN Jakarta Utara maupun Kementerian Pertahanan memilih tidak memberikan komentar setelah sidang. Perwakilan kedua instansi langsung meninggalkan ruang persidangan tanpa memberi keterangan kepada media.

Kekhawatiran Warga Soal Pengosongan 31 Desember 2025
Kekhawatiran terbesar warga saat ini adalah isu rencana pengosongan ruko pada 31 Desember 2025.
Kuasa hukum warga, Subali, S.H., menegaskan bahwa pengosongan tanpa eksekusi pengadilan adalah tindakan tidak sah.
“Kami sudah menyurati pihak terkait sejak awal, termasuk Inkopal, Kantor Presiden, Kemenhan hingga Mabes TNI AL,” tegas Subali.
Akar Masalah: Status Tanah Negara dan Kejanggalan Sertifikasi
Menurut Subali, sengketa berawal dari status lahan yang sejak awal merupakan tanah negara. Lahan ini berkembang, diserahkan ke pengembang, lalu dijual kepada masyarakat.
Namun ia menyebut ada kejanggalan dalam penerbitan hak atas tanah, terutama pada proses konversi tanah.
“Proses konversi tanah seharusnya diarahkan menjadi HPL, bukan hak pakai, jika digunakan instansi atau untuk komersial,” jelas Subali.
Ia juga menegaskan bahwa Inkopal tidak dapat diterbitkan HPL karena bukan lembaga negara. Ketidaksesuaian inilah yang dianggap menjadi akar persoalan dan seharusnya diperiksa secara objektif oleh BPN.
Seruan Damai dan Keterbukaan Dokumen BPN
Subali mendorong agar penyelesaian sengketa ditempuh secara damai.
“Hukum tertinggi adalah perdamaian. Kami berharap Pak Menhan bisa menjadi mediator antara warga dan Inkopal,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya keterbukaan BPN dalam memunculkan seluruh dokumen agar pemeriksaan berjalan objektif.

Kisah Warga: Beli 1997, Sertifikat HGB Tak Pernah Terbit
Seorang warga mengungkapkan bahwa ia membeli ruko pada 1997 tanpa sertifikat fisik, namun dijanjikan Sertifikat HGB akan terbit dalam satu tahun. Hingga tahun kedua, sertifikat tidak juga terbit.
Warga kemudian terkejut saat diberitahu bahwa HGB tidak dapat diterbitkan, dan statusnya diganti menjadi perjanjian sewa 25 tahun (2000–2025).
“Kami tidak merasa menyewa. Kami sudah membayar penuh sejak awal. Sertifikat HGP yang kami terima bukan dari BPN, tetapi dari Inkopal,” ujarnya.
Warga juga mempertanyakan terbitnya Sertifikat Hak Pakai (HP) Nomor 477/2000 atas nama Kemenhan, yang dijadikan dasar penerbitan perjanjian sewa oleh pengelola.
Ia menilai penerbitan HP tersebut bertentangan dengan SK Gubernur yang mewajibkan penerbitan HGB atas nama pembeli, karena bangunan sudah berdiri dan diperjualbelikan sejak 1997.
Surat Teguran dan Keluhan Pungutan Tidak Wajar
Meski gugatan tengah berjalan, Inkopal tetap mengirimkan surat teguran agar warga mengosongkan ruko jika tidak memperpanjang atau membayar uang sewa.
Warga juga mengaku terbebani oleh beberapa pungutan, antara lain:
- IPL naik, namun fasilitas lingkungan tidak terurus
- Tarif air Rp56.000/m³, jauh di atas tarif resmi sekitar Rp17.500/m³
- Biaya parkir pemilik ruko lebih mahal dibandingkan pengunjung umum
“Tagihan air usaha seperti restoran bisa mencapai Rp8–12 juta per bulan. Kadang tidak masuk akal,” keluh warga.
Warga Minta Kepastian Hukum Jelang 31 Desember 2025
Menjelang 31 Desember 2025, warga meminta kepastian hukum dan perlindungan negara, terutama dari BPN.
“Kami hanya ingin proses hukum dihargai. Sertifikat yang kami gugat harus diuji keabsahannya. Negara harus hadir agar rakyat tidak menjadi korban,” tegas warga.
Sidang sengketa Ruko Marina Tama akan kembali digelar pekan depan dengan agenda pemeriksaan bukti. Hingga berita ini diturunkan, BPN Jakarta Utara dan Kementerian Pertahanan belum memberikan pernyataan resmi terkait perkembangan perkara.







