Oleh : Muhamad Sarman
LIST BERITA – Dilema menjadi persoalan ketika eksekusi jaminan para penagih hutang, dihadapkan praktik penyitaan terhadap pelaku yang memiliki persoalan hutang menjadi polemik.
Eksekusi jaminan menjadi alasan Penegakan hukum atas jaminan pinjaman yang gagal bayar, merupakan praktik yang sah dan diakui dalam sistem hukum nasional. Meski prakteknya tetap melahirkan luka, (Dilansir dari Redaksi Satu).
Kepastian hukum eksekusi jaminan sebagai bentuk penghormatan terhadap suatu kontrak perjanjian hutang adalah pilar penting dalam menjaga kepercayaan ekonomi.
Namun demikian, ketika pelaksanaan eksekusi jaminan justru melahirkan luka sosial dan penderitaan kemanusiaan yang mendalam, maka praktik tersebut layak dikritisi secara serius.
Peristiwa yang dialami keluarga besar Bayu Poenjul menunjukkan bahwa eksekusi jaminan tidak selalu berhenti pada persoalan hukum semata.
Rumah yang dieksekusi bukan hanya aset yang tercantum dalam perjanjian, melainkan rumah tersebut sebagai ruang hidup, tempat kelahiran, dan simbol perjalanan sebuah keluarga lintas generasi.
Ketika rumah semacam itu dieksekusi secara terbuka dan seremonial, hukum hadir didepan mata, bukan sebagai pelindung.
Melainkan sebagai menjalankan aturan hukum yang terasa dingin dan berjarak dari rasa keadilan sosial.
Apalagi dalam praktiknya, melibatkan sejumlah institusi negara dan non-negara: lembaga pembiayaan atau perbankan.
Sebagai pemegang hak jaminan, pengadilan sebagai pemberi legitimasi, serta aparat negara sebagai pelaksana di lapangan.
Seluruh rangkaian ini bergerak dalam koridor peraturan yang berlaku. Namun pertanyaan mendasarnya adalah apakah prosedur yang sah secara hukum telah cukup untuk menjawab tuntutan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Tajuk rencana ini berpandangan lain sebagai bentuk empati bahwa kegagalan membayar kewajiban tidak selalu lahir dari itikad buruk atau karakter debitur jelek.
Banyak warga yang jatuh dalam ketidakmampuan dan gagal bayar akibat krisis ekonomi, sakit berkepanjangan, bencana, dan atau runtuhnya usaha kecil.
Ketika faktor-faktor tersebut diabaikan dan eksekusi dipilih sebagai langkah paling utama, maka hukum berpotensi berubah menjadi alat penghukuman sosial yang berdampak luas.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pihak yang menandatangani perjanjian hutang, tetapi juga oleh sejumlah anggota keluarga yang sama sekali tidak terlibat dalam kontek keputusan finansial tersebut.
Orang tua menanggung rasa malu, anak-anak mewarisi trauma, dan keluarga kehilangan rasa aman.
Luka-luka ini tidak tercatat dalam berita acara, perjanjian hutang, tetapi potret nyata dalam kehidupan sosial.
Negara, dengan melalui kendaraan instrumen hukumnya, tidak seharusnya berhenti pada peran sebagai pengesah prosedurnya saja.
Negara juga memikul tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak mengabaikan nilai kemanusiaan.
Demikian pula lembaga keuangan, yang sejatinya berdiri di atas asas kepercayaan, perlu menempatkan keberlanjutan sosial dan empati sebagai bagian dari kebijakan, bukan sekadar efisiensi neraca.
Eksekusi seharusnya menjadi jalan paling ujung, paling akhir setelah seluruh upaya persuasif, restrukturisasi, dan mediasi ditempuh secara sungguh-sungguh.
Pendekatan yang bermartabat dan manusiawi perlu dilembagakan agar hukum tidak sekadar menegakkan kepastian, tetapi juga memelihara keadilan.
Jika praktik eksekusi terus dijalankan tanpa sensitivitas sosial, maka yang akan lahir adalah ketertiban yang rapuh. Rakyat mungkin patuh karena takut.
Tetapi perlahan kehilangan kepercayaan terhadap keadilan itu sendiri. Dalam jangka panjang, kondisi ini justru berpotensi merusak legitimasi hukum dan negara.
Redaksi menegaskan bahwa hukum memang harus ditegakkan. Namun dalam negara yang beradab, penegakan hukum tidak boleh mengorbankan kemanusiaan.
Kepastian hukum dan rasa keadilan seharusnya berjalan seiring. Sebab ketika kemanusiaan ikut tergusur, maka yang dieksekusi bukan hanya jaminan, melainkan juga nurani bersama.







