Diduga ada persekongkolan kuasa hukum di PT IFI pecat 12 kKaryawan sepihak Lembaga Kontrol dan Advokasi Elang Indonesia hal itu dugaan praktik melawan hukum dalam pemutusan hubungan kerja 12 karyawan PT Internasional Furniture Industries (IFI)
Jakarta I List Berita.id
Aroma dugaan persekongkolan Kuasa Hukum perusahaan dan ketidakadilan semakin tercium dalam kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) 12 mantan karyawan PT Internasional Furniture Industries (PT IFI). Dugaannya bukan hanya PHK sepihak, namun juga praktik pembonsaian hak pekerja yang bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Lembaga Kontrol dan Advokasi (LKA) Elang Indonesia pun angkat bicara dan mendesak Kementerian Tenaga Kerja RI untuk segera turun tangan. Ketua Umum LKA Elang Indonesia, Wisran, menyebutkan bahwa pihaknya mencium dugaan persekongkolan antara kuasa hukum perusahaan dan kuasa hukum para mantan pekerja. Kedua pihak diduga memainkan peran dalam menekan 12 pekerja untuk menerima pesangon jauh di bawah ketentuan hukum, serta menandatangani surat pernyataan pengunduran diri dan janji tidak menuntut di kemudian hari.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Ada indikasi kuat terjadinya pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Hak-hak pekerja yang seharusnya dilindungi oleh negara justru dipreteli melalui permainan hukum yang manipulatif,” tegas Wisran.
Hak Pekerja Didiskon, Aturan Dilanggar
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari dokumen dan kesaksian para korban, pemecatan terjadi sepihak tanpa proses bipartit yang layak. Para karyawan yang telah bekerja antara 7 hingga 13 tahun, hanya menerima kompensasi yang sangat minim: mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 6,5 juta per orang.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diperbarui oleh UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021, pekerja yang mengalami PHK berhak atas:
- Uang pesangon,
- Uang penghargaan masa kerja,
- Uang penggantian hak.
Jika dihitung sesuai regulasi, total hak 12 karyawan seharusnya mencapai sekitar Rp 570 juta. Namun kenyataannya, nominal tersebut “dikecilkan” dan disalurkan dengan syarat para pekerja menandatangani surat yang menyatakan bahwa mereka mengundurkan diri secara sukarela dan tidak akan menuntut di kemudian hari.
Surat Pernyataan Sarat Tekanan
Surat pernyataan tersebut juga memuat klausul yang tidak lazim dan dianggap menekan secara psikologis. Salah satu poin menyebut bahwa jika informasi mengenai perjanjian bocor ke publik, maka mantan pekerja wajib membayar denda Rp 50 juta kepada perusahaan.
“Bayangkan, mereka dipaksa menyerah atas haknya, lalu diancam denda besar jika bicara. Ini sudah bukan sekadar pelanggaran, tapi bisa masuk ranah pidana jika terbukti ada pemaksaan atau intimidasi,” ujar Wisran.
LKA Minta Kemenaker dan Penegak Hukum Bertindak
Melihat seriusnya kasus ini, LKA Elang Indonesia secara resmi meminta Kementerian Tenaga Kerja RI serta aparat penegak hukum untuk membuka penyelidikan. Mereka menduga tindakan para kuasa hukum, baik dari pihak perusahaan maupun dari pekerja, telah melanggar prinsip profesionalitas dan melukai semangat keadilan ketenagakerjaan.
LKA juga meminta agar para pekerja tidak takut untuk bersuara dan melaporkan segala bentuk tekanan yang mereka alami.
Aspek Hukum yang Dilanggar
Dalam tinjauan LKA, sedikitnya ada beberapa pelanggaran hukum yang patut diselidiki lebih lanjut:
1.) Pelanggaran terhadap Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 yang mewajibkan perusahaan melakukan musyawarah dalam setiap PHK.
2.) Pelanggaran prinsip perundingan bipartit yang seharusnya dilakukan sebelum PHK.
- Dugaan perbuatan melawan hukum oleh kuasa hukum yang memfasilitasi pemaksaan pernyataan pengunduran diri.
- Ancaman finansial melalui klausul denda yang tidak memiliki dasar hukum dalam undang-undang ketenagakerjaan.